PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Pengamat pendidikan Arief Rachman mendukung dikembalikannya urusan kebudayaan menjadi domain kewenangan Kementerian Pendidikan Nasional. Menurutnya, pendidikan dan kebudayaan seperti pohon ilmu yang saling terkait dan tidak bisa terpisahkan. Akan tetapi, Arief menekankan, yang harus dipertegas dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah konsep dan filosofisnya.
"Sebenarnya memang harus jangan dipisahkan. Program pendidikan membuat kebudayaan yang baik, dan kebudayaan melahirkan pendidikan yang mulia". Lebih jauh ia menjelaskan, pendidikan dan kebudayaan saling melengkapi dari dua benda yang senyawa. Tujuan pendidikan adalah untuk membentuk masyarakat yang berbudaya dan beradab. Menurutnya, jika sudah berbudaya maka secara otomatis akan mendorong terbentuknya masyarakat yang berkecukupan.
"Pendidikan dan kebudayaan adalah landasan dari kemapanan," ujarnya. Selain itu, menurut Arief, untuk meraih hasil yang optimal dari kinerja kementerian ini, harus pula diperjelas visi dari pendidikan dan kebudayaan apa yang nantinya akan diterapkan ketika sudah berada dalam satu atap. Oleh karena itu, siapa saja yang akan memimpin kementerian nantinya, harus mampu menajamkan urusan pendidikan dan kebudayaan menjadi dua hal yang saling menopang.
"Mengemas orang yang berpendidikan untuk membentuk orang yang berbudaya," kata Arief. Sebelumnya, Menteri Pendidikan Nasional M Nuh mengungkapkan, tugas baru yang akan diemban oleh Kemdiknas itu karena di dalam kebudayaan juga mengandung unsur tuntunan yang tidak terlepas dari pendidikan itu sendiri. Selama ini, kebudayaan menjadi domain kewenangan yang melekat pada Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
"Dari berbagai pandangan dan dilihat lebih mendalam. Urusan kebudayaan bisa dibagi dua, ada yang namanya tuntunan dan tontonan," kata Nuh. Ia menjelaskan, tuntunan dalam kebudayaan itu terkait dengan nilai dan tidak sesuai jika dikomersilkan. Menurutnya, perdebatan mengenai kebudayaan itu lebih dekat pada persoalan yang melekat pada diri manusia. Baik yang menyangkut pola pikir, kepercayaan yang dianut, kebiasaan dan budaya itu sendiri.
Dan, para pemimpin tradisional pribumi, yang secara turun-temurun selalu menikmati kedudukan sebagai elite penguasa priayi yang selalu ongkang-ongkang menikmati hasil kerja keras rakyat petani dan nelayan, menerima peran yang diberikan tuan penjajah dengan suka hati. Mereka mendapat gaji dan persentase keuntungan dari harga hasil bumi yang dipaksa ditanam petani dan harus dijual kepada pemerintah dengan harga yang ditetapkan oleh pembeli. Pemberontakan petani di Jawa, yang kerap terjadi pada abad ke-19 dan ke-20, mempunyai pola yang sama: para petani merasa tidak puas dengan ketentuan yang dikenakan terhadap mereka, mereka mengajukan usul, lalu protes, dan karena tidak digubris, mereka melawan. Pemberontakan seperti itu selalu berakhir dengan ditindasnya petani, bukan hanya yang memberontak, tetapi juga mereka yang dianggap bersimpati kepada pemberontak atau mempunyai hubungan darah dengan mereka. Para petani Banjaran (Majalengka), yang sawahnya tercemar limbah pabrik baterai yang didirikan di sana, setelah melakukan protes tak digubris pemerintah daerah, lalu membakar pabrik itu. Mereka ditangkap dan dijatuhi hukuman oleh pengadilan. Para petani di Cimacan (Cianjur) juga ditangkapi dan diajukan ke pengadilan karena protes mempertahankan tanah yang sudah digarapnya puluhan tahun, yang oleh pemerintah daerah hendak dijadikan lapangan golf. Peristiwa di Istana Bogor saat sejenak Inggris menguasai Hindia Belanda dan Gubernur Jenderal Inggris Lord Minto berkunjung ke Jawa-saat Pangeran Koesoemadinata menyatakan dengan berani dan terus terang kepatuhan dan kesetiaannya kepada majikannya yang lama, yaitu Pemerintah Hindia Belanda yang dikalahkan Inggris-menunjukkan bahwa pada dasarnya ia sama saja dengan kaum elite priayi lain yang tidak mempunyai perspektif pandangan sejarah dan sosial yang luas. Status quo yang tertib dipertahankan dengan ajaran yang, misalnya, dirumuskan dalam peribahasa, "Guru, ratu wong atuo karo, wajib sinembah," yang berasal dari Jawa, tetapi kemudian dipopulerkan melalui sekolah yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda di seluruh Tatar Sunda.
Maksud peribahasa itu ialah setiap orang (rakyat) wajib menghormati guru, ratu, dan orang tua. "Guru" yang tadinya mungkin mempunyai arti pendeta, kiai, empu, dibumikan menjadi pegawai Pemerintah Hindia Belanda yang tugasnya berdiri di depan kelas mengajar murid. Jelas peribahasa itu hendak mempertahankan ketenteraman masyarakat melalui lembaga "guru" (yang memberi bimbingan ilmu) dan "ratu" (yang mengatur pemerintahan), sedangkan "orang tua" menjadi bantal paling akhir. Tak pernah ada gugatan dari pihak ulama Islam yang, misalnya, mempersoalkan mengapa "guru" dan "ratu" yang disebut dahulu baru "orang tua", padahal ada hadis yang jelas menyatakan, orang yang harus dihormati itu pertama-tama ibu (3 kali) dan baru ayah.Di sekolah ini, sejak dini para siswa diperkenalkan dengan sumber budaya Belanda (Eropa), yaitu budaya Yunani dan di tingkat sekolah lanjutan tingkat atas mereka belajar bahasa Latin, sedangkan sebelumnya mereka sudah diperkenalkan dengan mitologi dan drama Yunani. Tidak ada yang menganggap perlu, anak didik yang akan menjadi pewaris negara dan bangsa Indonesia mengenal dengan baik sumber budayanya. Dengan demikian, anak-anak Jawa terputus dengan sumber budaya Jawa, anak-anak Sunda terputus dengan sumber budaya Sunda, anak-anak Bugis terputus dengan sumber budaya Bugis, anak-anak Aceh terputus dengan sumber budaya Aceh, dan seterusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar